Notification texts go here Contact Us Buy Now!

Benarkah Adat Minang Melarang Kawin Sasuku, Ini Penjelasannya

Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

Jauh sebelum Islam masuk ke Minangkabau orang Minang telah mengamalkan system matrilineal dimana suku di ambil menurut garis keturunan ibu yang tertuang ke dalam falsafah adat ‘Basuku bakeh ibu babangso bakeh bapak.

Sebelum adat bersandikan Syara’, Syara’ basandi Kitabullah adat bersandi ‘Alua jo patuik, saukua mangko manjadi sasuai mangko takanak, luruh makanan tiliak bana manahan bandiang. Setelah adat di Islamkan dan Islam di adatkan di Minangkabau.

Niniak mamak dan ulama se Minangkabau tidak merobah system matrilineal kepada system patrilineal karena mengambil keturunan baik dari garis ibu atau garis bapak bukanlah hal yang di wajibkan dalam Islam, tidak ada dalam Alquran maupun Sunnah yang menyuruh atau mewajibkan bersuku kepada ayah maupun ibu.

Adapun larangan nikah sesuku yang telah di amalkan oleh orang Minang sebelum Islam masuk ke Minangkabau juga tidak di robah, walaupun Islam berhasil menukar sandi Adat dari Adat basandi Alua jo patuik kepada Adat bersandi Syara’  namun nikah sesuku tetap dilarang di Minangkabau.

Syara membolehkan nikah sesuku tapi orang Minang tetap melarang, adakah ini betentangan.? Tidak.. Adat Minang hanya melarang bukan mengharamkan, adat Minang tidak pernah menghalalkan apa yang di haramkan oleh Syara’ dan adat Minang tidak pula mengharamkan apa yang di halalkan oleh Syara’.

Melarang yang di bolehkan bukan berarti bertentangan, karena mudaratnya lebih besar dari manfatnya, bukankah Syara’ menyuruh kita meninggalkan suatu perkara yang apabila mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya seperti seperti minum khamar, berjudi dan lain sebagainya yang mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya.

Apa saja mudaratnya nikah sesuku sehingga orang Minang tetap melarang walau Syara’ membolehkan, diantara mudarat nikah sesuku akan mengacaukan strata kekeluargaan di Minangkabau, ada kekeliruan status anak di keluarga bako (ayah) dan keluarga ibunya, siapa bako siapa dunsanak, anak-anak ikut menanggung malu.

Sebab itu, hukum buang sepanjang adat harus di tanggung oleh sipelaku, di mata masyarakat hina sekali orang yang nikah sesuku ini ibarat buah bagalimang luluak, jatuah ka lauik indak di makan ikan jatuah ka darek indak di makan kuciang. Banyak lagi mudarat dari nikah sesuku berkait juga dengan ilmu kesehatan. Salah satu akibat yang sangat mungkin terjadi akibat nikah sesuku adalah munculnya penyakit keturunan, seperti hemofili, buta warna, diabetes dan lain sebagainya.

Urang Minang itu paibo, begitu kata bapak AA Navis, nilai sosial orang Minang itu tinggi, dua orang yang baru berkenalan datang dari negeri yang berbeda saling bertanya, apa sukumu.? Jika se suku maka hubungan mereka yang baru kenal itu otomatis menjadi rapat, kita berdunsanak, kita bersaudara dan tidak jarang kita dengar jangan panggil bapak tapi panggil mamak karena kita sesuku. Dari sana bermula Raso dibao naiak pareso di bao turun, saliang menjago kurenah jo taratik, arti yang lebih menukik saling menjaga kehormatan.

Akhir-akhir ini banyak kita dengar baik di media sosial maupun di alam nyata orang Minang itu sendiri yang ingin atau mencoba menukar aturan adat ini, ingin di sebut pahlawan pembaharuan adat atau memang sekedar duri dalam daging, ingin merevisi adat tapi yang runcing juga yang di rautnya, bermula dari kata adat melarang ditukarnya, adat tidak melarang tapi berpantangan, nikah sesuku berpantangan dengan adat bukan di larang oleh adat.

Saya sendiri tidak paham mengapa dilarang di tukar dengan berpantangan, ada apa di sebalik ungkapan ini. Bukankah ujung-ujungnya yang dilarang itu akan menjadi di bolehkan, sebab kata berpantangan dengan di larang itu punya makna yang berlainan, menurut hemat saya di larang hukumnya berbuhul mati sedangkan berpantangan berbuhul sintak yang akan membawa kepada melemahnya hukum adat, karena berpantangan atau pantangan senang di langgar dari larangan atau dilarang.

Berguru kepada alam menurut falsafah adat Minang, jika bukan untuk mencapai maksud tertentu tidaklah Riba di ganti dengan Bunga atau Kafir di ganti dengan Non Muslim, lantas untuk apa Dilarang di ganti dengan Berpantang. Wallahualam.


Sumber: Khairullah Al Basrie
Kuala Lumpur 20-01-2020

Posting Komentar

Oops!
Koneksi internet terputus.