Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan proses berdiri dan berkembangnya suatu pemerintahan kerajaan. Artinya, merekonstruksi kembali peristiwa berdirinya suatu kerajaan dengan segala permasalahan yang ada di dalamnya. Walaupun dengan data dan sumber yang minim dan kejadiannya telah lampau sekali akan tetapi karena tujuannya menceritakan kembali maka yang utama dilakukan adalah menganalisa data dari beberapa sumber yang ada. Persoalan-persoalan yang terkandung dalam peristiwa tersebut mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan sebab-musabab dan faktor kondisional yang ada dan berkembang atau apa yang mendasari hal itu terjadi.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode sejarah kritis. Bentuk pengungkapan lewat studi ini akan menghasilkan penulisan yang deskriptif-analistis yang sesuai dengan akidah dan norma-norma yang dikehendaki oleh ilmu sejarah.
Hasil penelitian diperoleh bahwa Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu terbentuk pada abad 17. Pada masa ini Islam disinyalir telah masuk dan dianut oleh hampir seluruh masyarakat Sungai Pagu. Agama Islam dibawa oleh seorang mubaligh yang bernama Abdul Halim Syech Maulana Syoufi dan beliaulah yang mengislamkan sekaligus menikahkan Inyiek Samsuddin Sadewano, Raja pertama Alam Surambi Sungai Pagu. Inyiek Syamsuddin Sadewano adalah Raja pertama yang merupakan keturunan langsung dari Pagaruyung. Beliau dipilih dan dinobatkan Sultan Alam di Pagaruyung. Ini menandakan bahwa Alam Surambi Sungai Pagu merupakan salah satu kerajaan bagian dari pada Pagaruyung.
Alam Surambi Sungai Pagu merupakan cermin taruih atau kaco puri dari Pagaruyung. Artinya, segala titah Raja Yang Dipertuanku Rajo Disambah di Pagaruyung baik dalam hal pelaksanaan adat-istiadat maupun aturan pemerintahan yang berlaku di Pagaruyung maka pelaksanaannya juga berlaku di seluruh wilayah bagiannya. Dalam hal ini, Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu sebagai salah satu bagian mengikuti dan ikut melaksanakan aturan tersebut di dalam pemerintahannya. Walaupun demikian, Raja bawahan tetap memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur dan memimpin negerinya sendiri.
Dalam pelaksanaan pemerintahan, sama dengan sistem yang dijalankan oleh Pagaruyung. Yang berbeda adalah pelaksanaan pemerintahan. Kalau di Luhak Nan Tigo pelaksana pemerintahan dilakukan oleh Penghulu Nan Ampek Jinih sedangkan di Alam Surambi Sungai Pagu oleh Penghulu Kepala Kaum. Kekuasaan penuh berada di tangan Raja Alam sebagai pucuk pimpinan. Sedangkan Raja Adat, Raja Ibadat dan Panglima Rajo mempunyai tugas dan fungsi masing-masing. Raja Adat berlaku sebagai pimpinan adat Sementara itu, Rajo Ibadah berfungsi sebagai pemimpin ritual keagamaan (ibadah). Terakhir adalah Panglimo Rajo berfungsi sebagai pimpinan keamanan wilayah.
Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu memiliki wilayah kekuasaan yang luas. Walaupun dia merupakan daerah bagian namun kerajaan ini juga memiliki daerah bawahan seperti salah satu contohnya adalah daerah Bandar Sepuluah yang berada di wilayah Pesisir. Nagari-nagari ini juga diberi otonomi khusus namun apapun keputusannya berdasarkan hasil musyawarah Raja-raja yang berada di Alam Surambi Sungai Pagu. Artinya, sebelum melangkahkan kaki ke Pagaruyung dengan tujuan menyelesaikan sesuatu permasalahan maka nagari-nagari yang berada di Bandar Sepuluh harus meminta ijin dulu kepada Rajo-rajo di Ala Surambi Sungai Pagu.
Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu mengalami nasib yang sama dengan kerajaan lainnya di Minangkabau pada umumnya. Kerajaan ini hampir-hampir tidak dapat lagi meneruskan pemerintahannya ketika Pagaruyung sebagai pusat kekuasaan Minangkabau dapat dipatahkan oleh kaum Paderi. Alam Surambi Sungai Pagu sebagai negara bagian ikut goyah dan para raja tidak merasa tenang menghadapi situasi demikian. Apalagi Alahan Panjang merupakan bazis kekuatan Paderi sehingga hal ini berpengaruh pula pada perkembangan mental para Raja. Faktor lain yang tidak dapat dielakkan juga adalah ketika Belanda menginjakkan kakinya ke daerah ini. Belanda dalam waktu yang singkat dapat menguasai kerajaan dan para raja seketika tunduk pada peraturan Belanda. Sebagai gantinya, Belanda mengangkat para Raja menjadi Demang dengan mendapat gaji dari Belanda. Dengan demikian, maka para raja sudah tidak dapat berkuasa sepenuhnya terhadap kerajaanya karena sudah masuk pengaruh dan kekuasaan asing.
Kesejahteraan masyarakat menjadi terbengkalai dan nasib mereka berada pada masing-masing kepala kampung. Itupun kepala kaum sudah terkontaminasi pula akibat bujuk rayu Belanda yang menjadikan mereka sebagai pembantunya. Masyarakat berjuang sendiri dan ada yang mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Belanda. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Minangkabau. Daerah-daerah yang menjadi negara bagian dari Pagaruyung mengalami hal yang sama dan hampir seluruhnya mengangkat senjata pula dalam membebaskan diri dari kolonial Belanda.
Secara formal kerajaan Alam Surambi Sungai pagu berakhir pada masa Raja Salintieh dan secara administrasi, kerajaan Alam Surambi Sungai pagu tunduk pada Belanda. Pada sekitar tahun 1800-san Belanda melalui maklumat pimpinannya yang tertinggi yaitu Ratu Belanda memberikan pengakuan bahwa Alam Surambi Sungai Pagu termasuk salah satu kerajaan kecil yang ada di wilayah Minangkabau. Namun hal tersebut tidak dapat mengakhiri kekuasaan Belanda karena Belanda mempunyai kepentingan besar terhadap hasil alam Alam Surambi Sungai pagu. Pada saat yang sama Pagaruyung tidak dapat berkutik untuk membebaskan Sungai Pagu dari keuasaan Belanda karena hal yang sama tengah terjadi di pusat kerajaan Minangkabau ini.
Yondri dan Lia Nuralia