Dalam tradisi makan bersama- sama di lapiak (tikar) seperti bajamba atau makan baselo (bersila), seseorang tidak bisa sesuka hatinya memulai makan dan mengakhiri cuci tangan, persoalan cuci mencuci tangan ini sangat sensitif. Bahkan bisa berakibat fatal dalam acara makan bersama jika membasuh tangan sembarangan, apalagi yang membasuh tangan pertama kali itu tuan rumah akan membuat yang lain tak akan meneruskan makannya.
Membasuh tangah itu dianggap tanda menyuruh untuk segera berhenti makan, dulu waktu di kampung sering memperhatikan orang makan di lapiak saat baralek atau pesta pernikahan, dalam satu kali putaran makan bisa 20-30 orang. Jika dua atau tiga orang sudah selesai menyuap makanan, ia tidak langsung mencuci tangan di timbala (kobokan). Mereka akan menunggu yang lain semua selesai makan meski bekas kuah makan itu sudah kering di tangan.
Saya pernah mengalami kejadian itu, kebetulan ada orang muda biasa di rantau ikut makan di tikar, selesai makan ia langsung cuci tangan tanpa melihat kekiri dan kekanan. Hampir semua mata melotot ke arahnya dan tak lama semua orang cuci tangan tanpa menghabiskan makanan yang tersisa atau tak berniat lagi bertambuh makanan. Orangpun bersungut sungut dibuatnya. Di luar orang berbisik bisik, "kamanakan sia tadi tu ?"
Jaman tentu sudah berubah, pesta baralek jarang sekali yang menghidangkan makanan di tikar, kecuali batagak gala dan adat nagari. Banyak yang memilih prasmanan slf service, ambil piring sendiri, sendok sendiri, ambil minum sendiri, cari tempat duduk sendiri. Sudah kenyang cuci tangan atau telungkupkan sendok, masukan amplop, lalu pulang. Makananpun kadang banyak bersisa di piring, itulah sekelumit cerita tentang si Kutar.
Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Elfiyon Tanjung